Surat Kepada Kanjeng Nabi

Dicopy dari : Emha A. N.

Ah, Muhammad, Muhammad….. , Betapa kami mencintaimu . Betapa hidupmu bertaburan emas permata kemuliaan , sehingga luapan cinta kami tak bisa dibendung oleh apa pun . Dan jika seandainya cinta kami ini sungguh-sungguh , betapa tak bisa dibandingkan , karena hanya satu tingkat belaka di bawah mesranya cinta kita bersama kepada Allah.
Akan tetapi tampaknya cinta kami tidaklah sebesar itu kepadamu . Cinta kami tidaklah seindah yang bisa kami ungkapkan dengan kata , kalimat , rebana , dan kasidah-kasidah . Dalam sehari-hari kehidupan kami , kami lebih tertarik kepada hal-hal yang lain .
Kami tentu akan datang ke acara peringatan kelahiranmu di kampung kami masing-masing , namun pada saat itu nanti wajah kami tidaklah seceria seperti tatkala kami datang ke toko-toko serba ada , ke bioskop , ke pasar malam , ke tempat-tempat rekreasi .
Kami mengirim shalawat kepadamu seperti yang dianjurkan oleh Allah karena Ia sendiri beserta para malaikat-Nya juga memberikan shalawat kepadamu . Namun pada umumnya itu hanya karena kami membutuhkan keselamatan diri kami sendiri .
Seperti juga kalau kami bersembahyang sujud kepada Allah , kebanyakan dari kami melakukannya karena kewajiban , tidak karena kebutuhan kerinduan , atau cinta yang meluap-luap . Kalau kami berdoa , doa kami berfokus pada kepentingan pribadi kami masing-masing .
Sesungguhnya kami belum mencapai mutu kepribadian yang mencukupi untuk disebut sebagai sahabatmu , Muhammad . Kami mencintaimu , namun kami belum benar-benar mengikutimu . Kami masih takut dan terus menerus tergantung pada kekuasaan-kekuasaan kecil di sekitar kami . Kami kecut pada atasan . Kami menunduk pada benda-benda . Kami bersujud kepada uang , dan begitu banyak hal-hal yang picisan .
Setiap tahun kami memperingati hari kelahiranmu . Telah beribu-ribu kali umatmu melakukan peringatan itu , dan masing-masing kami rata-rata memperingati kelahiranmu tiga puluh kali . Tetapi lihatlah : kami jalan di tempat . Tidak cukup ada peningkatan penghayatan . Tidak terlihat output personal maupun sosial dari proses permenungan tentang kekonsistenan . Acara peningkatan maulidmu pada kami mengalami involusi , bahkan mungkin degradasi dan distorsi .
Zaman telah mengubah kami , kami telah mengubah zaman , namun kualitas percintaan kami kepadamu tidak kunjung meningkat . Kami telah lalui berbagai era , perkembangan dan kemajuan . Ilmu , pengetahuan , dan teknologi kami semakin dahsyat , namun tak diikuti dahsyatnya perwujudan cinta kami kepadamu . Kami semakin pandai , namun kami tidak semakin bersujud . Kami semakin pintar , namun kami tidak semakin berislam . Kami semakin maju , namun kami tidak semakin beriman . Kami semakin beriman , namun kami tidak semakin berihsan . Sel-sel memuai . Dedaunan memuai . Pohon-pohon memuai . Namun kesadaran kami tidak . Cinta dan internalisasi ketuhanan kami tidak .  Kami masih primitif dalam hal akhlak—substansi utama ajaranmu . Padahal kami tak usah belajar soal akhlak karena tidak menjadi naluri manusia ; berbeda dengan saudara kami kaum Jin yang ilmu tak usah belajar namun akhlak harus belajar . Akhlak kaum jin banyak yang lebih bagus dari kami .  Sebab kami masih bisa menjual iman dengan harga beberapa ribu rupiah . Kami bisa menggadaikan Islam seharga emblem nama dan segumpal kekuasaan . Kami bisa memperdagangkan nilai Tuhan seharga jabatan kecil yang masa berlakunya sangat sementara . Kami bisa memukul saudara kami sendiri , bisa menipu , meliciki , mencurangi , menindas , dan mengisap , hanya untuk beberapa lembar uang .
Padahal kami mengaku sebagai pengikutmu , Ya Muhammad . Padahal engkau adalah pekerja amat keras dibanding kepemalasan kami . Padahal engkau adalah negarawan agung dibanding ketikusan politik kami . Padahal engkau adalah ilmuwan ulung dibanding kepandaian semu kami . Padahal engkau adalah seniman anggun dibanding vulgar-nya kebudayaan kami .
Padahal engkau adalah pendekar mumpuni dibanding kepengecutan kami . Padahal engkau adalah strateg dahsyat dibanding berulang-ulangnya keterjebakan kami oleh sistem Abu Jahal kontemporer .
Padahal engkau adalah mujahid yang tak mengenal putus asa dibanding deretan kekalahan-kekalahan kami . Padahal engkau adalah pejuang yang sedemikian gagah perkasa terhadap godaan benda emas dibanding kekaguman tolol kami terhadap hal yang sama .
Padahal engkau adalah moralis kelas utama dibanding kemunafikan kami . Padahal engkau adalah panglima kehidupan yang tak terbandingkan dibanding keprajuritan dan keseradaduan kepribadian kami . Padahal engkau adalah pembebas kemanusiaan .
Padahal engkau adalah pembimbing kemuliaan . Padahal engkau adalah penyelamat kemanusiaan . Padahal engkau adalah organisator dan manajer yang penuh keunggulan dibanding ketidaktertataan keumatan kami .
Padahal engkau adalah manusia yang sukses menjadi nabi dan nabi yang sukses menjadi manusia , di hadapan kami . Padahal engkau adalah liberator budak-budak , sementara kami adalah budak-budak yang tak pernah merasa ,menyadari , dan tak pernah mengakui , bahwa kami adalah budak-budak .
Sementara kami adalah budak-budak—dalam sangat banyak konteks yang sudah berbincang tentang perbudakan , segera mencari kalimat-kalimat, retorika , dan nada yang sedemikian indahnya sehingga bisa membuat kami tidak lagi menyimpulkan bahwa kami adalah budak-budak .
Di negara kami ini, umatmu berjumlah terbanyak dari penduduknya . Di negeri ini, kami punya Muhammadiyah , punya NU , Persis , punya ulama-ulama dan MUI , ICMI , punya bank , punya HMI , PMII , IMM , Ashor , Pemuda Muhammadiyah , IPM , PII , pesantren-pesantren , sekolah-sekolah , kelompok-kelompok studi Islam intensif,  yaysan-yayasan , mubalig-mubalig , budayawan , dan seniman , cendekiawan , dan apa saja .
Yang kami tak punya hanyalah kesediaan , keberania

Tidak ada komentar:

Posting Komentar